Saat kita berdiri tegak menyanyikan Indonesia
Raya, pernahkah kita bertanya: apa fondasi dari negara
yang kita cintai ini? Jawabannya terletak pada satu kata sakti
yang lahir dari proses panjang dan penuh perdebatan: Pancasila.
Namun, Pancasila tidak lahir begitu saja. Ia
adalah hasil gagasan, perjuangan, dan kompromi para tokoh bangsa dalam
sidang-sidang penting menjelang kemerdekaan. Mari kita telusuri dinamika
pemikiran mereka.
🏛️ BPUPKI: Awal Mula
Perumusan Dasar Negara
Pada tanggal 29 April 1945, Jepang membentuk BPUPKI
(Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia).
Tujuan utama badan ini adalah untuk merancang dasar-dasar negara Indonesia
merdeka.
Dalam sidang pertamanya (29
Mei – 1 Juni 1945), tiga tokoh besar tampil dengan pemikiran
mereka yang monumental: Muhammad Yamin, Prof.
Dr. Soepomo, dan Ir. Soekarno.
✍️ Muhammad Yamin: Mengedepankan Persatuan dan Keadilan
Yamin mengusulkan dua versi dasar negara: secara lisan
dan tertulis.
·
Versi lisan: Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan,
Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, Kesejahteraan Rakyat.
·
Versi tertulis: mirip dengan rumusan final
Pancasila yang kita kenal hari ini.
Penekanannya
terletak pada pentingnya persatuan nasional dan keadilan sosial sebagai fondasi
negara.
🧠 Prof. Dr. Soepomo: Negara
Integralistik dan Kekeluargaan
Berbeda dengan Yamin, Soepomo menekankan pada
teori negara integralistik.
Menurutnya, rakyat dan penguasa adalah satu kesatuan, dan kepentingan umum
harus diutamakan.
Lima asasnya:
1.
Persatuan
2.
Kekeluargaan
3.
Keseimbangan lahir dan batin
4.
Musyawarah
5.
Keadilan rakyat
Ia menghindari liberalisme dan menekankan konsep negara
kekeluargaan.
🔥 Ir. Soekarno:
Melahirkan Nama "Pancasila"
Pada 1 Juni 1945, Soekarno menggebrak sidang
dengan menyebut nama: Pancasila.
Lima dasar yang ia usulkan:
·
Kebangsaan Indonesia
·
Internasionalisme (Peri Kemanusiaan)
·
Mufakat (Demokrasi)
·
Kesejahteraan Sosial
·
Ketuhanan yang Berkebudayaan
Soekarno juga merumuskan gagasannya menjadi Trisila
dan Ekasila (Gotong Royong) — menjadikannya
fleksibel tapi tetap filosofis.
🤝 Panitia Sembilan dan Piagam Jakarta
Setelah sidang BPUPKI, dibentuk Panitia
Sembilan yang merumuskan Piagam Jakarta
(22 Juni 1945), cikal bakal Pembukaan UUD 1945. Namun, rumusan ini menyulut
perdebatan, terutama terkait tujuh kata dalam sila pertama:
"Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya"
Wakil dari Indonesia bagian timur (non-muslim)
menyuarakan keberatannya. Maka, demi persatuan nasional,
pada 18 Agustus 1945, PPKI menghapus tujuh kata tersebut dan menetapkan
Pancasila seperti yang kita kenal sekarang.
🌟 Nilai-Nilai Luhur yang
Kita Warisi
Proses perumusan dasar negara bukan hanya
peristiwa sejarah. Ia mengajarkan kita tentang:
·
Musyawarah dan kompromi
·
Toleransi dalam
keberagaman
·
Kecerdasan dan kenegarawanan
·
Semangat persatuan di
atas ego golongan
📌 Relevansi Bagi Kita
Hari Ini
Pancasila tetap relevan dalam menghadapi
tantangan zaman: radikalisme, polarisasi, disinformasi, hingga krisis
kepercayaan publik.
Generasi muda
hari ini punya peran strategis untuk menjaga dan mengamalkan nilai-nilai
Pancasila. Mulai dari hal kecil:
·
Menyebarkan toleransi di media sosial
·
Terlibat dalam kegiatan positif
·
Bersikap adil dan jujur dalam kehidupan
sehari-hari
Penutup
Pancasila bukan sekadar dokumen atau hafalan di
kelas PPKn. Ia adalah roh dan napas bangsa Indonesia.
Mari kita jaga warisan luhur ini, bukan hanya di mulut, tapi di hati dan
tindakan nyata.
Jika Anda guru, siswa, atau pemerhati pendidikan,
jangan ragu menghidupkan nilai-nilai ini dalam ruang belajar dan ruang sosial
kita. Karena masa depan bangsa ini dibentuk dari nilai yang kita tanam hari
ini.
0 Komentar